PEREMPUAN BALI

Tarianmu mengingatkan aku

pada bulan jelaga masa kanak kanak
hingga goresan takdir melemparkanku
dari pelukan mimpi yang nikmat

Kepulan dupa yang memaknai arwah leluhur

Pada selendang yang kau ikat
Alunan gamelan

Tak ada sorot kamera
Tak ada turis
Tak ada wantilan
Tak ada secangkir kopi pahit

Diam diam aku mulai belajar menari
pada keheningan yang absurd
menirukan gemulai dan ekspresi matamu
yang seperti editorial sebuah sejarah kebudayaan.

Perlahan kusapa kau
Kau tersenyum

Di bawah sebatang pohon asam yang bijinya pernah
menjadi gunung dalam hatiku, di antara tumpukan
pasir, semen, kerikil dan material sebuah hotel
yang belum selesai, kutatap langit hingga
membelah aura absurditas matamu

Pada buruh buruh perempuan yang peluhnya
menguning, yang wajahnya kusut, yang jiwanya letih
bersembunyi di balik biji matamu

Hingga waktu asyar
saat kuamati lekuk-lekuk tubuhnu
yang indah

Kusapa kau dalam sebuah kamar yang kelam
di sana kutahu namamu. Kau tersenyum,
bahkan sedetik sebelum dentuman besar gemparkan
langit kotamu
sebelum Amerika Serikat lancarkan probagandanya
kau masih pulas di dekapanku?

Fudaili
Hotel Kokokan
Pleatan Denpasar 2002

Tinggalkan komentar